Header Ads

Header Ads

Metode Istinbat Hukum Induksionisme-Aristotellian

 Pendahuluan


Para pemerhati Islam (islamist) seringkali mengidentifikasi budaya Islam adalah budaya teks (nus}u>s). Pandangan ini mengasumsikan bahwa dalam tradisi Islam teks memegang penting dalam proses reproduksi budaya yang berlangsung sejak masa risalah. Namun yang penting untuk dicatat, budaya teks dalam pandangan islamist identik dengan “diskontekstual”, abai terhadap realitas yang melingkupinya. Padahal dalam konstruk pemikiran modern tidak ada sistem budaya di dunia ini yang mampu berkembang tanpa adanya proses dialektika dengan dinamika realitas sosial.


Sekalipun demikian, sulit untuk mengingkari “tuduhan” semacam ini, mengingat bangunan intelektual Islam bahkan tidak pernah benar-benar mampu memisahkan diri dari kungkungan teks. Terlebih-lebih dalam bidang hukum (baca; fiqh), teks merupakan pusat bagi perkembangan wacana di dalamnya. Sekalipun beberapa sumber dan metode hukum “seakan-akan” bertautan dengan realitas sosial, semacam ‘urf, maslahah mursalah, ‘adah, dan sebagainya akan tetapi otoritas teks menjadi penentu bagi ditentukannya status hukum suatu masalah.


Munculnya kitab ar-Risalah karya asy_Syafii yang dianggap sebagai karya pertama di bidang us}u>l fiqh, semakin meneguhkan posisi sentral teks dalam sistem pengetahuan dan budaya Islam. Bahkan corak teologis-deduktif yang diusung kitab ini kemudian diikuti oleh ahli us}u>l aliran mutakallimun, sebagai lawan corak induktif-analitis yang menjadi corak aliran hanafiyah.Kesamaan kedua aliran ini terdapat pada hal yang paling mendasar, yaitu dominannya pembhasan tentang text (dalam hal ini text berbahasa Arab) dan mengabaikan pembahasan secara mendalam tentang maksud dasar dari wahyu yang tersimpan di balik teks literal. Tradisi seperti inilah yang dalam bahasa al-Jabiri disebut dengan tradisi bayani.


Posisi as-Syafi’i sebagai arsitek usul fiqh mazhab mutakallimu>n menjadi sangat menarik manakala terdapat klaim bahwa dia juga mempopulerkan metode istiqra’i yang seringkali dibaca sebagai metode empiris-induktif. Argumen “kalim” ini merujuk pada dua argumen, yaitu: Pertama, adanya metode khusus yang digunakan oleh asy-Syafi’i ketika menyelesaikan beberapa masalah yang berkaitan dengan haid dan istihadah; Kedua, adanya transformasi pendapat asy-syafii, dari qaul qadim menujuqaul jadid yang diduga lebih dilatar belakangi oleh pengalaman empirik berupa budaya di mana asy_syafii tinggal.


Bagaimana sebenarnya metode isitiqra’i dalam kajian fiqh? Mungkinkah ia ditransformasikan sebagai metode alternatif dalam penetapan hukum di era modern yang lebih menuntut argumen-argumen empirik? Melalui makalah sederhana ini penulis berusaha untuk mengantarkan diskusi kedua pertanyaan di atas.


Pengertian Istiqra’


Istiqra’ secara etimologi berarti pengikutsertan, terus-menerus (at-tatabu’).[1] Definisi lebih luas menyatakan bahwa Istiqra’merupakan “proses identifikasi juz’iyyat ke dalam kulliyat karena adanya kesamaan karakteristik juz’iyyatdengan kulliyyat-nya”. Definisi lain membatasi dengan “proses penetapan argumen hukum juz’iyyah berdasarkan ditemukannya ketentuan hukum yang melekat pada kulliyat-nya”.[2] Definisi yang terakhir ini sejalan dengan batasan yang dikemukakan ahli mantiq, istiqra’adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakterisik satuan-satuannya.[3]


Istiqra’ terbagi ke dalam dua jenis, yaitu: istiqra ta>m dan istiqra’ na>qis}. Disebut ta>m jika proses penetapan argumen hukum tersebut diberlakukan bagi semua juz’iyyat, selain hal-hal yang secara tegas masih diperselisihkan. Sedangkan jika prose penetapan argumen hukum tersebut hanya berlaku pada sebagian besar juz’iyyat, dengan mengecualikan hal-hal yang masih diperselisihkan.[4] Menurut Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) jika kesimpulan itu disasarkan atas kesamaan karakteristik semua satuannya disebut istiqra’ ta>m (induksi sempurna) dan jika didasarkan atas kesamaan karakteristik mayoritas satuannya disebut istiqra’ masyhu>r atau istiqra’ na>qis} (induksi tidak sempurna).[5]


Istiqra>’ tam biasanya ditemukan dalam penelitian natural sciences dimana karakteristik objek-objeknya yang diteliti bersifat konstan. Sedangkan istiqra’ masyhu>r sering ditemukan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu agama, yang memiliki obyek kajian pada gejala-gejala sosial dan bersifat dinamis. Sifat dinamis yang ditemui dalam gejala-gejala sosial digunakan untuk menggambarkan makna (dila>lah) pada nus}u>s} (ayat al-Qur’an dan hadis), dimana seringkali dijumpai tidak ada makna tunggal pada setiap kata. Konsep-konsep musytarak, mujmal, mustayabih dan sebagainya mempertegas bahwa kebanyakan kata  dalam sistem bahasa Arab mengandung beberapa kemungkinan makna. Bahkan makna yang tunggal sekalipun mengandung “pelapisan”, sebagaimana konsep ma’na> dan magza>yang dikemukakan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid. Untuk sampai pada sebuah kesimpulan hukum yang dihasilkan dari analisis kebahasaan dilakukan dengan proses istiqra>’untuk menghasilkan kesimpulan (z}anni) yang paling kuat.